Rabu, 21 Maret 2012

Ollie & Bejo minggat

Siapa yang mau dijodohkan? Zaman sudah begini modern, eh.. papaku yang teriak-teriak soal kebebasan sekarang berniat menjodohkan aku… Tidak la yaow!! Mending minggat dari sini. Biar papa tahu rasa!
Kepala Ollie menyembul keluar jendela. Ia tak boleh ketahuan oleh para pengawal Papa.  Sudah sering Ollie berhasil membodohi mereka, pasti mereka sudah memahami tempat keluar Ollie ini. Ollie harus berhati-hati lebih dari biasanya. Ollie berjingkat, mencari-cari bayangan para pengawal itu. Saat melihat mereka sedang berdiri di bawah sana, di depan pagar Ollie cepat-cepat menunduk lagi.

Sial, kenapa mereka semua berkumpul di depan pagar? trus aku lewat mana dong?

Ollie memandang sekeliling pagar. Matanya tertumbuk pada pintu tempat para pembantu dan pengawal biasa keluar. Di situ hanya ada satu orang penjaga. Dan dia kelihatan sedang menahan kantuk. Senyum Ollie merekah. Tatapan Ollie berpindah menyusuri dinding rumah, merencanakan jalan yang tercepat menuju pintu itu.

Lalu dengan perlahan, Ollie membuka jendela. Sedikit keras dan berbunyi. Tapi Para penjaga di bawah tetap tak menyadarinya. Ollie mengeluarkan kakinya satu persatu, menutup jendela kembali sepelan mungkin. Lalu bak seorang pemain sirkus, Ollie berjalan meniti tepi dinding yang hanya selebar 10 cm, menuju dinding kayu yang menuju taman. Dinding kayu itu dipenuhi tanaman merambat yang aman untuk dituruni. Ketika sampai Ollie harus ekstra hati-hati karena air hujan tadi cukup membuat dinding kayu berbentuk segiempat panjang itu sedikit licin. Dilemparnya tas yang disangkutkannya di leher untuk mengurangi berat ke bawah. Suara itu tetap tak membuat para penjaga itu sadar. Ollie pun turun dengan cepat. Ia sempat terpeleset saat di tengah-tengah, namun dengan sedikit aksi akrobatik maka ia bisa melewati dengan mudah.

Ollie menghembuskan napas lega saat tiba di halaman dengan mudah. Ia mengambil tasnya, menunduk menuju pintu kecil itu. Tak terkunci, tapi pintu itu tertutup. Satu-satunya cara ia ke sana adalah memutari pos kecil itu. Maka Ollie pun berdiri pelan-pelan, memutari pos kecil penjaga yang tampak sesekali menjatuhkan kepalanya. Ollie menunggu sebentar saat seorang penjaga di depan pagar utama berputar. Penjaga itu tampaknya sedang dipanggil masuk, sementara tiga penjaga lainnya berdiri di dekat pintu rumah dan pagar utama. Berjaga-jaga seperti biasa.

Suasana mendadak sunyi, tepat ketika Ollie akan berdiri, sebuah mobil berhenti di depan pintu pagar. Para penjaga berlarian ke pagar utama, bahkan penjaga yang tadinya sibuk menahan kantuk ikut berlari. Melihat semua penjaga berkumpul di depan pintu pagar, Ollie menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Ia membuka pintu pagar secepat dia bisa dan berlari sekencang-kencangnya

“Nona! Nona Ollie!! Nona Ollie lari!!” suara teriakan para penjaga di belakang Ollie membuat lari Ollie semakin kencang. Lama ia berlari, mengikuti kakinya yang mengarahkan entah ke mana yang penting menjauh dari rumah. Tapi rasanya para penjaga terlatih itu punya tenaga sekuat kuda. Saat Ollie menengok, para penjaga itu masih mengejar di belakangnya dan mereka semakin mendekat. Rasa panik melanda Ollie, ia menatap lurus ke depan eh nggak… dia harus belok ke mana? aduuh, kiri kanan atau kanan atau kiri… Ollie berlari di tempat beberapa detik sebelum akhirnya memutuskan berbelok ke kiri.

Aah syukurlah, dia tak salah belok. Ollie memasuki keramaian jalan raya. Sambil mencari-cari tempat yang tepat untuk bersembunyi, Ollie terus berlari. Tiba-tiba di belakangnya, seorang pria muda dengan baju lusuh membawa gitar berlari mengejar. Ollie ketakutan. Mungkinkah ini salah satu penjaga Papa yang menyamar? Ollie kembali mempercepat larinya meskipun napasnya mulai kepayahan.

Tapi pria itu mampu mengejarnya. Ollie jadi semakin ketakutan. Anehnya ketika pria itu berhasil menyamai lari Ollie, dia justru berada di depan Ollie. Ollie bingung.

“Bang, kenapa ngejar saya?” tanya Ollie bingung tanpa menghentikan langkah.

“Siapa yang ngejar situ? saya lagi dikejar kamtib,” gerutu pria itu sambil terus melaju. Hah??

Ollie tertawa kecil, lalu menengok. Tak lagi tampak para pengawal Papa mengejarnya. Dia berhenti, ngos-ngosan mengambil napas dan menenangkan deru jantungnya yang cepat.

“Hei, kenapa berenti? Lo gak takut… sama,,, kamtib?” tanya Pria muda yang tadi ikut berlari di sisi Ollie, sama-sama megapnya dengan Ollie. Dia juga berhenti rupanya.

Ollie tertawa kecil di sela napas yang hampir putus.  ”Napas… gue… bentar,” jawab Ollie. Pria itu lalu duduk di atas trotoar, mengatur napasnya.

***

“Gue Ollie.”

“Gue Bejo.”

Mereka saling berkenalan. Ollie menyalami tangan Bejo. Kasar tapi tangannya bersih untuk ukuran pengamen.

Setelah mengatur napas dan agak tenang. Merekapun berkenalan. Ollie suka sama pengamen muda itu. Entah kenapa sejak berkenalan Bejo selalu bisa membuatnya tersenyum. Beberapa menit lalu, Bejo terus melontarkan lelucon. Ollie berkali-kali terpingkal-pingkal dibuatnya.

“Lo lucu amat sih, jo. Yakin lo bukan pelawak?” tanya Ollie.

Bejo tersipu. “Ah elo, Li. Tahunya gue ini pengamen paling cakep di sini. Soal jadi pelawak, boleh deh kalo ada yang nawarin manggung. Lumayan buat nambah-nambah.” Dia menggaruk-garuk kepalanya.

“Lo ini… gue nanya bukan mau nawarin,” ucap Ollie. Dipandangi wajah Bejo dengan seksama. Kegelapan malam menyembunyikan wajah pengamen itu. Walaupun tak begitu jelas, Ollie harus mengakui wajah Bejo agak tampan andaikan saja noda hitam kecoklatan di wajahnya dibersihkan.

“Tadi lo kenapa lari?” tanya Bejo. Dia mulai memainkan gitarnya, asal-asalan. Terdengar petik sumbang dari gitar yang dimainkannya. Agak aneh mengingat dia adalah pengamen. Mungkin karena hanya main-main saja.

Dan mengalirlah cerita Ollie. Tentang perjodohan yang akan dilakukan Papanya, tentang pelariannya dan tentang para pengawal yang mengejarnya. Bejo manggut-manggut mendengarkan.

“Lo untung masih ada yang mau ngawinin. Lah gue? boro-boro dikawinin. Mau aja udah sukur banget.” ujar Bejo menanggapi cerita Ollie. “Itu tandanya masih ada yang mau ngurusin elo, Li.”

“Bisa aja lo, Jo. Gue bukan siti nurbaya. Gue bisa kok nyari sendiri. Papa aja tuh yang gak sabaran.” tukas Ollie tidak mau kalah.

“Lo pernah nanya gak alasan Papa lo ngejodohin lo?” tanya Bejo. Ollie menggeleng.

“Nah lo, kalau misalnya Papa lo ngejodohin karena umurnya pendek gimana?”

“Sembarangan lo, Jo!” Ollie langsung meninju bahu Bejo. Bejo meringis.

Tapi Bejo memang benar. Kenapa Papa begitu tergesa-gesa menjodohkannya? Sedangkan dulu jangankan menjodohkan, begitu Ollie keluar dengan teman cowok pasti Papa kalang kabut melarangnya, ataupun kalau Ollie berkeras maka pengawal Papa yang seabrek-abrek itulah yang mengawalnya. Jadi kenapa sekarang?

Ollie termangu, Bejo menepuknya. “Naaah, sekarang baru deh lo mikir. Makanya kalau lari, mikir-mikir dulu non.”

“Jadi gue harus kembali nih?” tanya Ollie setengah hati. Dia mulai bingung menentukan rencana selanjutnya.

“Ya, itu terserah elo kali non. Gue gak ngurus. Tapi gue gak punya orangtua. Lo masih lengkap.”

“Nggak, tinggal Papa doang.” sela Ollie.

Alis Bejo naik. “Naah, apalagi tinggal papa saja. Masak Papa lo gak bisa diajak bicara? Bicara aja pelan-pelan. Ntar kalau Papa lo sedih terus sakit? Gak sayang sama Papa lo lagi?” tukas Bejo. Ollie terdiam.

Bejo memang lagi-lagi benar. Papa belum pernah memaksakan apapun selain ini. Seharusnya tadi Ollie bertanya dulu alasan Papa, bukannya langsung memilih minggat dari rumah.

“Tapi gue malu, Jo. Udah berhasil lari sejauh ini terus masak balik lagi.”

Bejo tertawa kecil. “Ya.. lo bilang aja tadi olahraga sebentar buat kesehatan jantung. Kan selesai.”

“Terus ini?” Ollie menunjuk tas yang ditentengnya.

Bejo mikir sebentar. “Lo bilang aja, tadi ngumpulin cucian terus lupa ngasih ke bibik. Selesai. Udah deh, lo pulang aja. Gak baik cewek secantik lo tetap di sini. Sudah malam banget, mana di sini kan banyak premannya.”

“Maksudnya salah satunya elo kan?” Bejo terkekeh. Ia menepuk-nepuk bahunya sendiri dengan bangga

“Tapi lo gak takut kan sama gue.” Ollie menggeleng. Ia malah tersenyum.

“Enggak, gue malah suka sama lo lagi,” kata Ollie bercanda, ia bangkit dan menepuk-nepuk pantatnya yang terkena tanah. “Kalau elo orang baik-baik, punya kerjaan baik, gue mau nikah ama lo.”

Mata Bejo membesar. “Beneran nih? Gue kerja nih bener-bener.”

Ollie membalas tatapan Bejo. “Iya, tapi lo harus bersih, rapi dan punya rumah buat tinggal. Kalo begini, jangankan gue tuh bibik-bibik yang jualan sayur di pasar aja pada gak mau. Udah ah, gue mau pulang. Makasih ya udah nemenin gue.” Ollie menyodorkan tangan.

Bejo menyalaminya sekali lagi. “Perlu gue antar gak?”

“Hmm…” Ollie memandang ke sekelilingnya. sudah sepi. Perasaan tadi tidak seseram ini, kenapa jadi sepi begini sih? lalu Ollie mengangguk pada Bejo.

Merekapun kembali berjalan kaki beriringan menuju rumah Ollie. Masih sambil mengobrol ringan, sesekali Bejo masih melontarkan lelucon membuat perjalanan mereka tak terasa sampai di depan rumah Ollie.

Tampak Papa sedang memarahi para pengawalnya. Wajah Papa kelihatan kalut dan bingung. Ollie berlari, meninggalkan Bejo.

“Papa!” panggilnya.

Papa menoleh. Memandang putrinya dengan kaget. “Ollie? Ollie sayang!” teriak Papa saat melihat Ollie. Ia berlari menyongsong putrinya dan memeluknya sekencang mungkin.

“Papa! Ollie minta maaf.” bisik Ollie sambil membalas pelukan Papa.

“Ollie! Papa minta maaf. Kalau Ollie gak mau dijodohin. Papa batalin. Iya, tapi Ollie jangan tinggalin Papa lagi ya, nak!”

“Tadi kata Ollie, dia bersedia kok dijodohin sama saya asal saya kerja bener dan punya rumah, Om.”

“Hah?!?” Ollie dan Papa sama-sama melepas pelukan dan menatap Bejo yang berdiri sambil tersenyum simpul.

“Bejo?”

“Alex?”

Ollie dan Papa sama-sama saling menatap.

“Kamu sudah kenal sama Alex, Li?” tanya Papa. Ollie menatap Bejo bingung. Ia menatap Papa dan Bejo berganti-gantian. Otaknya sibuk mengingat-ingat dan merewind kembali ingatannya. Tidak! Tak ada nama Alex sejak tadi pertama kali ia berkenalan dengan Bejo.

Bejo melangkah mendekati Ollie dan berkata, “Kenalin, nama asli saya Alexander Bernardo Jonathan. Tapi teman-teman saya biasa manggil saya Bejo.”

Dan Ollie pun terkulai lemas di pelukan Papa. Bejo adalah Alex, dan Alex adalah orang yang akan dijodohkan Papa.

*****

Jika Anda tersentuh dengan cerita di atas, tolong “share” cerita ini ke teman-teman yang lain agar mereka juga dapat memetik hikmah yang ada pada cerita di atas. Semoga dapat bermanfaat bagi kehidupan kita, terimakasih.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar