Delapan tahun telah berlalu sejak kejadian itu. Aku harap Ibu baik-baik saja. Aku harap Ibu tersenyum melihatku kini. Maafkan aku bila melakukan sesuatu yang Ibu tak suka. Dimana pun Ibu berada sekarang, aku selalu berdoa agar Ibu mendapat tempat yang terbaik. Aku disini baik-baik saja Ibu. Walau terkadang aku menyesali yang terjadi. Mengapa bukan aku saja yang pergi? Mengapa harus Ibu?
“Marshaaa!!!!!” teriak seseorang dari lantai bawah.
Oh tidak. Si nenek lampir kembali beraksi. Suaranya benar-benar menghancurkan gendang telinga. Kulirik sepintas jam beker di meja belajar. God! Sepertinya hari ini aku terlambat lagi. “Iya kak. Ini lagi pakek baju!!” ucapku berbohong. Buru-buru aku melempar selimut dan berlari ke kamar mandi. Bisa gawat kalo Kak Gina tahu aku terlambat bangun. Memikirkan saja membuatku muak. Ya, hubunganku dengan kakakku tidak begitu baik. Kami jarang bicara jika tidak begitu penting. Seperti kali ini.
Setengah jam kemudian aku tiba di sekolah. Tepatnya gerbang sekolah. “Marsha, ini sudah ketiga kalinya kamu terlambat dalam seminggu.” tegur Bu Maya. Aku hanya bisa menunduk pasrah. “Silahkan menghadap guru piket. Dan sepatu mu itu warna apa? Sudah berapa kali ibu mengatakan bahwa siswa diharuskan menggunakan sepatu hitam bukan putih?” lanjutnya seraya berkacak pinggang. Yeah, aku sudah bisa membayangkan bagaimana aku melewati hari ini. Terdampar di ruang piket mendengar ceramah yang tidak penting. Dan tentu saja, melihat cowok misterius itu lagi.
***
Sepi. Hanya ada beberapa murid yang lalu lalang di koridor SMA Permai. Wajar saja, jam baru menunjukan pukul 06.30. Aku sendiri datang ke sekolah pagi-pagi bukan karena tobat. Melainkan aku malas di rumah. Kak Gina kembali memarahi ku hanya karena masalah sepele. Ayah memang membelaku, namun Kak Gina terlalu keras kepala untuk dilawan. Aku tahu Kak Gina memikul tanggung jawab yang berat sejak kematian Ibu. Dan sejak peristiwa tersebut aku dan kakakku tidak pernah akur.
Ku langkahkan kaki ku melewati lapangan basket. Letak kelas ku memang berada diseberang lapangan basket. Terlihat seseorang sedang bermain basket. Sendirian? Tunggu, itu kan cowok misterius yang kemarin. Cowok yang setiap hari selalu terlambat tapi tidak pernah melawan jika dimarahi guru. Tumben dia tidak terlambat. Merasa ada yang memperhatikan, cowok tersebut menoleh lalu tersenyum kepadaku. God! Dari senyumannya aku merasa pernah bertemu dengannya. Lalu ia menghampiriku. Yang benar saja.
“Masih inget aku, Marsha?” ujarnya to the point. Aku menggeleng karena gugup, lagi pula aku memang tidak ingat. “Kenalin aku Erwin temen SD kamu.” Lalu dia menjabat tanganku seolah-olah ini perkenalan pertama. Sejenak aku terkejut. “Ya ampun. Erwin yang nakal itu?” ucapku setengah berteriak. Dia pun mengangguk. Dan jadilah setengah jam sebelum bel, kami sibuk bercerita tentang diri masing-masing. Ternyata Erwin pindah ke SMA Permai awal semester ini. Pantas aku tidak pernah melihatnya dulu. Sepulang sekolah kami pun jalan-jalan ke mall sambil mengenang waktu SD. Jam 8 malam aku baru tiba di rumah. Dan tebak, bagaimana reaksi Kak Gina? Dia marah besar. Ayah sendiri belum pulang dari kantor.
“Bagus. Kemana aja kamu sampai jam segini baru pulang?” sindir kakakku. Aku diam saja mencari cara aman. “Kenapa nggak dijawab Marsha? Takut karena nggak ada yang membela kamu? Dari kecil kamu nggak pernah berubah. Selalu egois, nggak peduli sama keadaan sekitar.”lanjut kakakku.
“Cukup Kak Gina. Aku egois? Bukankah sebaliknya? Kakak yang tiap hari marahin aku dengan seenaknya hanya karena masalah sepele.” ujarku tak kalah sinis. Biasanya aku hanya diam tak mau melawan. Tapi kali ini tidak.
“Apa kamu bilang? Coba sekarang kamu menjadi kakak. Sejak kematian Ibu 8 tahun yang lalu, kakak yang mengurus keperluan rumah termasuk keperluan kamu. Kakak capek kuliah ditambah capek ngurusin kamu. Nggak kah kamu ngerti Marsha?”
“Aku nggak pernah minta kakak buat ngurusin aku. Lagi pula aku bisa sendiri” jawabku dingin. Lalu beranjak pergi dari ruang tamu. Namun samar-samar aku bisa mendengar Kak Gina yang masih berteriak memanggil ku. “Seharusnya kamu yang mati saat itu, Marsha. Bukan Ibu!!
Air mataku pecah. Di kamar aku menangis dalam diam. Sambil menatap foto yang ada di meja belajar. Foto aku bersama Kak Gina, Ayah, dan Ibu yang tertawa lepas. Saat itu aku baru berumur 8 tahun. Foto itu diambil tepat sebelum kepergian Ibu. “Ibu, benar kata Kak Gina. Yang seharus mati saat itu bukan Ibu. Tapi Marsha.” ujarku lirih lalu kembali menangis.
***
Matahari bersinar dengan teriknya. Kelasku masih latihan untuk upacara bendera hari Senin. Walau hanya sebagai paduan suara, aku tetap merasa lelahnya bernyanyi sambil berjemur di siang bolong. Kejadian kemarin aku sudah melupakannya.
Pagi tadi aku dan kakakku sarapan dalam diam. Ayah sudah curiga. Tapi aku bilang aku sedang sariawan, susah untuk bicara. Sedang semangatnya aku menyanyikan lagu Indonesia Raya, aku melihat Erwin bersama teman-temannya beranjak pulang. Aku hanya tersenyum kepadanya. Ia juga balas tersenyum sambil melambaikan tangannya. Erwin tidak berubah, ia sama mengasyikan seperti dulu. Seru untuk diajak bercanda.
Tak terasa sudah sore. Latihan upacara baru saja selesai. Lama sekali menurutku. Aku baru saja hendak menelpon supir Ayahku, namun pandanganku tertuju pada Kak Gina yang baru keluar dari mobilnya. “Naik. Kakak mau ajak kamu makan sebentar.”
Aku sudah bisa menebaknya. Kak Gina meminta maaf kepadaku. Karena Kak Gina sadar bahwa seseorang yang meninggal sudah ditentukan oleh Tuhan, kita sebagai manusia tidak dapat mengubah takdir tersebut. Kita hanya bisa berusaha untuk menerima dan merelakan orang yang kita sayangi untuk pergi menghadap-Nya. Aku hanya bisa tersenyum pahit mendengarnya. Entah kenapa sejak kejadian ini, Kak Gina tidak seperti dulu yang suka memarahiku. Kak Gina telah berubah menjadi kakak yang baik seperti sebelum kematian Ibu. Aku bersyukur akan hal ini. “Kak Gina, maafin aku juga ya.” ujarku saat menuju parkiran. Kak Gina hanya tersenyum lalu menyuruhku masuk mobil.
***
Hari ini tepat 8 tahun sejak kepergian Ibu. Aku menyempatkan diri untuk izin tidak sekolah. Begitu juga dengan Ayah dan Kak Gina. Masing-masing dari kami membawa seikat bunga mawar putih. Bunga kesukaan Ibu. Aku tersenyum memandang tempat peristirahatan terakhir Ibuku. Tempat dimana Ibu dengan tenang melihatku. Tempat dimana aku kecil yang menangis memandang Ibu.
“Ibu.. Suatu saat nanti aku akan pergi ke tempat Ibu berada kini. Mungkin butuh waktu yang lama. Jadi, tolong tunggu aku Ibu.”
***
Aku marah. Ibu tidak membelikan permen lollipop yang aku inginkan. Kata Ibu, permen lollipop akan merusak gigiku. Entah itu benar atau tidak. Yang jelas aku marah dengan Ibu. Ku langkahkan kaki ku untuk pergi sambil memeluk boneka panda. Sesekali aku menendang kaleng yang kutemui untuk memperjelas rasa marahku. Padahal tadi aku sedang berfoto dengan Kak Gina, Ayah, dan Ibu. Rasanya tidak lengkap jika tidak berfoto dengan permen lollipop seperti teman-temanku kebanyakan. Namun Ibu tidak mau membelikan.
“Marsha..” Oh tidak, itu suara Ibu yang berhasil menyusulku. Buru-buru aku menyeberang jalan tanpa melihat sekeliling. Tiba-tiba bunyi klakson mengejutkanku. Terlambat. Saat aku menoleh sebuah truk besar ada didepanku. Mataku terpejam tidak berani melihat. Aku hanya memeluk boneka pandaku kuat-kuat. Sedetik kemudian aku merasa Ibu memelukku. Dan kami tertabrak truk.
Tapi aneh, bagian tubuhku tidak ada yang terluka. Hanya terasa sakit sekali. Aku masih hidup. Sejenak aku tersenyum. Namun cairan hangat mengalir deras dari atas kepalaku menyadarkanku. Kutengadahkan kepalaku menatap Ibu. Mata Ibu terbuka sedikit, senyuman terukir di wajahnya. “Marsha, kamu nggak kenapa-kenapa kan?” Aku menggeleng tak mampu menjawab. Lalu perhalan kurasakan pelukan Ibu melemah dan ambruk begitu saja. Kutahan Ibu agar tak benar-benar jatuh.
“Ibuuuuuuuuu…..” teriak ku ketakutan sambil menangis. Kulihat Ayah mengambil Ibu dari pelukanku. Dan aku ditarik secara berlahan oleh Kak Gina. Aku meronta tak mau melepaskan Ibu. “Ibu….. Ibu banguuuuun…” ujarku sambil terisak.
*****
Nama : Rai Inamas Leoni
Tempat, tanggal lahir : Denpasar, 08 Agustus 1995
Sekolah : SMA Negeri 7 Denpasar
Blog : raiinamas.blogspot.com