Laman

Rabu, 21 Maret 2012

Cinta Tak Bertuan

Sepanjang hidup, kita seolah tak berhenti berusaha menaklukkan cinta. Cinta harus satu, cinta tak boleh dua, cinta maksimal empat, dan seterusnya. Jika cinta matematis, pada angka berapakah ia pas dan pada angka berapakah ia bablas? Dan kita tak putus merumuskan cinta, padahal mungkin saja cinta yang merumuskan kita semua. Infinit merangkul yang finit. Hidup berpasangan katanya sesuai dengan alam, seperti buaya yang hidup monogami tapi ironisnya malah menjadi ikon ketidaksetiaan.
Namun terkadang kita melihat seekor jantan mengasuh sekian banyak betina sekaligus, berparade seperti rombongan sirkus. Dan itu pun ada di alam. Lalu ke mana manusia harus bercermin? Sebagaimana semua terpecah menjadi dua kutub dalam alam dualitas ini, terpecahlah mereka yang percaya cinta multipel pastilah sakit dan khianat dengan mereka yang percaya cinta bisa dibagi selama bijak dan bajik. Yang satu bicara hukum publik dan nurani, yang satu bicara hukum agama dan kisah hidup orang besar. Yang satu mengusung komisi anti itu-ini, yang satu menghadiahi piala poligami.

Merupakan tantangan setiap kita untuk meniti tali keseimbangan antara intuisi individu dan konsensus sosial. Sukar bagi kita untuk menentukan dasar neraca yang mensponsori segala pertimbangan kita: apakah ini urusan salah dan benar, atau sebetulnya cocok dan tak cocok? Jika urusannya yang pertama, selamanya kita terjebak dalam debat kusir karena setiap orang akan merasa yang paling benar. Jika urusannya yang kedua, masalah akan lebih cepat selesai.

Kecocokan saya bukan berarti kecocokan Anda, dan sebaliknya. Namun seperti yang kita amati dan alami, lebih sering kita memilih yang pertama agar berputar dalam debat yang tak kunjung selesai. Semalam, saya menerima sms massal yang mengatasnamakan ibu-ibu seluruh Indonesia yang mengungkapkan kekecewaannya pada seorang tokoh yang berpoligami. Pada malam yang sama, sahabat saya menelepon dan kami mengobrolkan konsep poliamori (hubungan cinta lebih dari satu). Alhasil, saya terbawa untuk merenungi beberapa hal sekaligus.

Pertama, orang yang kita kenal sebatas persona memang hanya kita miliki personanya saja. Persona adalah lapisan informasi paling rapuh, pengenalan paling dangkal, dan oleh karena itu paling cepat musnah. Orang yang tidak kita kenal paling gampang untuk dijustifikasi ketimbang orang yang kita kenal dekat.

Kedua, apakah monogami-poligami dan monoamori-poliamori ini adalah sekat-sekat tegas yang menentangkan nurani versus ego dan 'setia' versus 'buaya'? Mungkinkah dikotomi itu sesungguhnya proses cair yang senantiasa berubah sesuai tahapan yang dijalani seseorang, ketimbang karakteristik baku yang harus dipilih atau distigmakan sekali seumur hidup? Sungguh tidak mudah menjadi seseorang yang personanya diklaim sebagai milik umat banyak. Persona seperti secabik tisu yang dengan mudah dienyahkan, diganti dengan tisu baru lainnya yang dianggap lebih bagus dan benar. Banyak dari kita bermimpi dan berjuang mati-matian agar secabik diri kita dimiliki banyak orang.

Hidup demikian memang sepintas menyenangkan dan menguntungkan, meski konsekuensinya titian tali yang kita jalani semakin tipis. Ilmu keseimbangan kita harus terus diperdalam. Tali itu harus dijalani ekstra hati-hati. Tidak mudah juga menjadi seseorang yang sangat teguh berpegang pada persona orang lain, pada mereka yang dianggap tokoh, teladan, panutan. Status selebriti bisa ada karena persona yang dipabrikasi massal lewat media lalu 'selebaran'-nya menjumpai kita, dan kita pungut. Kita mengoleksi persona mereka seperti pemungut selebaran. Terkadang kita lupa, pengenalan dan pemahaman kita hanya sebatas iklan yang tertera. Oleh karenanya justifikasi yang kita lakukan seringnya bagai memecah air dengan batu; sementara dan percuma saja. Tak terasa efeknya bagi hidup kita, tak juga bagi hidup yang bersangkutan.

Kita yang kecewa barangkali bukan karena cinta telah diduakan. Cinta tak bertuan. Kitalah abdiabdi cinta, mengalir dalam arusnya. Persepsi kitalah yang telah diduakan. Lalu kita merasa sakit, kita merasa dikhianati. Namun tengoklah apa yang sungguh-sungguh kita pegang selama ini. Perlukah kita ikut berteriak jika yang kita punya hanyalah selebarannya saja, bukan barangnya? Barangkali ini momen tepat untuk mengevaluasi aneka selebaran yang telah kita kumpulkan dan kita percayai mati-matian. Betapa seringnya kita hanyut dalam kecewa, padahal persepsi kitalah yang dikecewakan. Betapa seringnya kita menyalahkan pihak lain, padahal ketakberdayaan kita sendirilah yang ingin kita salahkan. Apapun persepsi kita atas cinta, tak ada salahnya bersiap untuk senantiasa berubah. Jika hidup ini cair maka wadah hanyalah cara kita untuk memahami yang tak terpahami. Banyak cara untuk mewadahi air, finit mencoba merangkul infinit, tapi wadah bukan segalanya. Pelajaran yang dikandungnyalah yang tak berbatas dan selamanya tak bertuan, yang satu saat menghanyutkan dan melumerkan carik-carik selebaran yang kita puja. Siap tak siap, rela tak rela.

karya: Dewi Lestari

Tidak ada komentar :

Posting Komentar